Perang Berebut Monopoli Perdagangan Kopi di Toraja
Sulawesi Selatan merupakan provisi ketiga terbesar yang mensuplai dan menjadi lumbung kopi nasional. Kopi di wilayah Sulawesi Selatan telah menjadi komoditas perdagangan sejak lama, bahkan kopi pernah menjadi pemicu peperangan di antara kerajaan-kerajaan di wilayah itu pada masa lampau.
Ada dua versi mengenai bagaimana kopi diperkenalkan dan dibudidayakan di wilayah Sulawesi Selatan. Versi pertama menyebutkan kopi pertama kali diperkenalkan dan dibawa ke Sulawesi Selatan oleh pedagang-pedagang dari Timur Tengah yang datang ke Makassar. Versi yang menyebutkan bahwa kopi dibawa oleh pedagang Arab, bisa ditelusuri dari penyebutannya, dimana orang-orang disana menyebut kopi Arabica dengan nama Kaa atau Kahwa, yang berasal dari kata Qahwa.
Saat itu, kopi dikenal sebagai minuman yang selain nikmat juga berkhasiat menambah vitalitas. Dengan cepat pamor kopi menyebar keseluruh wilayah Sulawesi. Dipercaya bahwa kopi Arabica pertama kali dibudidayakan di wilayah Enrekang dan Toraja oleh orang-orang dari Gowa. Wilayah Toraja dan Enrekang yang berada di dataran tinggi dan bersuhu dingin dinilai tepat untuk ditanami kopi.
Kopi kemudian tumbuh subur di wilayah Toraja. Disini kopi dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, tanpa memandang kelas, bangsawan atau rakyat biasa. Kala itu, kopi asal Toraja belum menjadi komoditas utama yang diperdagangkan. "Namun, karena popularitas dan permintaan yang tinggi, kopi kemudian menjadi komoditas yang menguntungkan untuk diperdagangkan. Nah, mulailah muncul persaingan perdagangan yang akhirnya memicu perperangan," ujar Sulaiman Mitting, seorang pelaku industri kopi saat berbincang di kedai kopi miliknya Kaa Toraja Coffee di Tallulolo, Kesu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
Sulaiman menjelaskan, perang kopi di Sulawesi Selatan terjadi dalam dua babak. Perang kopi pertama terjadi pada tahun 1887-1888, kemudian perang kopi kedua terjadi pada 1889 hingga 1890. Sulaiman bercerita, awalnya perdagangan kopi dikuasai oleh Kerajaan Sidenreng, yang mempunyai merek dagang Kopi Bungin. Keuntungan dari perdagangan kopi kemudian membuat Kerajaan Luwu ingin ikut dalam perdagangan itu.
Kedua kerajaan kemudian memperebutkan kopi-kopi dari Toraja dan Enrekang yang dikenal mempunyai kualitas baik. Saat itu, orang-orang Toraja lebih memilih mensuplai kopi ke Kerajaan Sidenreng karena lokasinya yang strategis. "Kemudian Kerajaan Luwu meminta bantaun Kerajaan Bone, yang juga tertarik menguasai sumber kopi untuk menyerang Toraja dan berperang. Pasukan dari Luwu dan Bone dikenal dengan nama Pasongko Borong atau pasukan bertutup kepala merah," ujar Sulaiman.
Sulaiman melanjutkan, kemudian Kerajaan Sangalla yang menguasai Toraja meminta bantuan Kerajaan Sidenreng dan Enrekang untuk melawan Luwu dan Bone hingga pecahlah perang kopi pertama. Sementara perang kopi kedua terjadi setelah Kerajaan Bone kembali melancarkan serangan ke Toraja untuk memonopoli perdagangan kopi.
Perang kopi berakhir pada tahun 1890, tanpa ada pihak yang bisa disebut menang mutlak. Raja dari Enrekang, La Tanro Arung Buttu mendorong kerajaan dari Selatan dan Utara yang berperang di Toraja membuat perjanjian mulai dari pembagian perkebunan kopi yang boleh mereka beli hingga jalur distribusi dan perdagangan yang tidak boleh saling melanggar.
"Jadi yang berperang sebetulnya bukan orang Toraja, tapi dua kerajaan yang memperebutkan hasil kopi di Toraja," ucap Sulaiman.
"Yang menarik dari perang kopi adalah jejak-jejak perang yang ditinggalkan. Saat itu, setiap kubu yang mundur atau menguasai wilayah pasti akan membangun masjid atau tempat ibadah. Nah, masjid-masjid sisa peninggalan perang kopi sampai sekarang masih ada dan bisa ditemukan. Meski saat itu suku Toraja memeluk agama Aluk Todolo, namun mereka sama sekali tidak melarang pembangunan rumah ibadah seperti masjid. Sebab dalam kepercayaan mereka, siapapun orang tidak boleh dilarang dalam beribadah kepada tuhan," jelas Sulaiman yang mengaku leluhurnya ikut perang kopi dari kerajaan Sidenreng.
Baca juga
Kopi Maroko dan Kopi Bangka Belitung Bikin Badan Tetap Fit di Musim Hujan
Kopi Turki Vs Kopi Klothok, Mana yang Lebih 'Nendang'?
Pergi Haji ke Tanah Suci Lewat Kebun Kopi
Mengedukasi Lewat Kopi Gratis di Depok
Sulaiman mengatakan perang kopi membuktikan bahwa kualitas kopi Toraja dan Enrekang memang sejak lama diincar karena bisa mendatangkan keuntungan. Terlebih setelah adanya wabah karat daun, hanya kopi-kopi yang ditanam di wilayah Toraja dan Enrekang yang bisa bertahan dari wabah tersebut.
Sulaiman melanjutkan, setelah perang kopi berakhir, babak baru sejarah kopi di Toraja dimulai ketika Belanda menguasai wilayah pedalaman Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1928, salah seorang petinggi Belanda, Van Dijk kemudian membuka perkebunan kopi yang luas di wilayah Bittuang atau Bolokan. Penguasa perdagangan kopi pun beralih dari kerajaan-kerajaan lokal ke tangan Belanda. Selama masa penjajahan Belanda, kopi pun menjadi komoditas yang dimanfaatkan oleh pejuang-pejuang untuk melakukan perlawanan.
Salah satunya adalah Pong Tiku. Penguasa dari Pangala’ yang menjadi pemimpin perang gerilya terlama di Sulawesi Selatan itu menjadikan kopi sebagai komoditas untuk dibarter dengan senjata untuk melawan Belanda. Setelah perlawanan Pong Tiku diredam, Belanda pun menguasai perdagangan kopi di Sulawesi Selatan.
"Belanda kemudian juga menanam kopi varietas Robusta. Jadi orang disini kenalnya kopi Robusta adalah kopi Belanda karena dibawa oleh Belanda. Sementara Arabica dikenal dengan nama Kaa atau Kahwa," ucapnya.
Belum lama Belanda menguasai perdagangan kopi, masuklah Jepang. Selama masa pendudukan Jepang banyak kebun-kebun kopi yang tidak terurus. Hingga akhirnya Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kebun-kebun kopi milik Belanda di Rantepao kemudian dinasionalisasikan dan kini dikelola oleh PT Sulotco.