Cerita dari Bekas Pabrik Pengolahan Kopi di Bandar Lampahan

Sejarah  

Berhenti Beroperasi karena Konflik Aceh

Adi mengatakan, keluarganya sempat mengolah pabrik selama tidak lebih dari 10 tahun sebelum akhirnya berhenti beroperasi pada tahun 70an. Hal itu, lantaran gejolak politik yang memaksa ayahnya bertentangan dengan pemerintah. "Ya itulah, dulu almarhum berjuang membela kemerdekaan hingga ke wilayah Sumatera Utara, kemudian setelah merdeka ada gejolak politik, orang tua sudah tidak fokus lagi mengolah pabrik dan pergi ke hutan. Akhirnya pabrik berhenti beroperasi karena memang tidak ada yang bisa mengurus dan meneruskan," ceritanya.

Munadi, pewaris bekas pabrik pengolahan kopi Bandar Lampahan.
Munadi, pewaris bekas pabrik pengolahan kopi Bandar Lampahan.

Meski begitu, Adi masih sempat merasakan ketika pabrik masih berjalan dengan normal, tepatnya ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia menceritakan, dulunya pabrik sempat beroperasi dengan mengandalkan tenaga uap. Namun, karena alat-alat tenaga uap rusak, pihak keluarga kemudian mengganti menjadi tenaga air melalui kincir besar yang sisanya masih bisa ditemukan di belakang pabrik. Sementara alat-alat untuk pengolahan kopi yang ada di pabrik ini, sudah terbilang canggih pada masanya. Di pabrik ini, sudah ada alat mulai dari pulper, huller, hingga alat sortir untuk memilih biji kopi berkualitas baik dan tidak.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Dulu waktu masih beroperasi, setiap tiga bulan, pabrik ini bisa mengekspor sekitar 35 sampai 40 ton green bean kopi ke pasar Eropa. Mungkin dulu di jaman sebelum kemerdekaan ekspor kopi dari sini lebih besar lagi, tapi saya tidak tahu pasti besar jumlanya berapa" ucapnya.

"Pabrik ini mengadalkan tenaga air sebagai sumber tenaga, dan itu dibangun oleh keluarga sendiri. Sumber tenaga ini juga digunakan untuk penerangan permukiman warga disini, dulu perusahaan listrik negara kan belum masuk," katanya melanjutkan.

Adi melanjutkan, setelah tak beroperasi, perawatan pabrik menjadi terbengkalai. Ia mengatakan, ada beberapa mesin pengelolahan kopi yang hilang dicuri oleh orang. Padahal, menurutnya alat-alat itu punya sejarah tinggi bukan hanya untuk keluarga namun juga perkembangan kopi di Gayo, Aceh. "Kami tidak pernah menjual, berapapun harga yang orang mau bayar, siapapun yang mau membeli, kami tidak akan menjual. Karena itu ada nilai sejarahnya, tapi memang itu hilang dicuri orang," ujarnya.

Bekas alat yang digunakan untuk mengolah kopi di Bandar Lampahan.
Bekas alat yang digunakan untuk mengolah kopi di Bandar Lampahan.

Munadi melanjutkan, pihak keluarga sampai kapanpun juga tidak akan menjual pabrik dan lahan tempatnya berdiri. Ia hanya berharap ada pihak-pihak yang memberikan dukungan agar pabrik itu bisa dijadikan museum.

Adi mengatakan, kini lahan kopi yang dikelola oleh keluarganya hanya tersisa beberapa hektar saja. Menurutnya, kopi sudah tidak lagi menjadi pemasukan utama untuk keluarga. Ia mengatakan pernah keluarga berpikir untuk menjual saja semua lahan kopi yang tersisa. Namun, amanah terakhir ibundanya mengatakan agar jangan sampai lahan itu hilang. “Ya mau membangun ulang sudah susah, kami berjalan saja dengan yang ada. Karena memang wasiat almarhuman adalah jangan sampai lahan ini hilang,” ucapnya.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Bacaan ringan untuk menemani minum kopi atau teh

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image