Cukup Bayar dengan Sampah Bisa Ngopi Hingga Belajar Gratis di Natsir Eco School
Kopi bukan hanya menjadi harapan bagi orang-orang khususnya petani untuk meningkatkan taraf hidup. Namun, kopi juga bisa menjadi alat untuk membantu melestarikan lingkungan seperti yang dilakukan oleh Natsir, seorang petani juga guru pemilik Natsir Eco School di Kabupaten Toraja, Sulawesi Selatan.
Natsir Eco School bukan merupakan sekolah seperti pada umumnya, disini sang pemilik memadukan unsur pendidikan, perkebunan, pelestarian alam dan pemberdayaan masyarakat. Sarana prasarana penunjang di Natsir Eco School terlihat berpadu apik dengan alam. Tidak ada bangunan yang terbuat dari beton disini. Ruang-ruang belajar terbuat dari bambu. Begitupun pondokan-pondokan untuk tamu.
Satu-satunya bangunan yang seluruhnya terbuat dari batu bata atau beton adalah Masjid yang berada di ujung jalan masuk ke Natsir Eco School. Kesederhanaan dan bersahaja sangat terasa disini, termasuk ketika kami bertemu sang pemilik bernama Natsir. Dengan pakaian sederhana setelah bekerja di kebunnya, Pak Natsir kemudian berbincang dengan kami di depan salah satu ruang belajar sekolahnya.
"Saya ini sebenarnya juga bingung kalau ditanya apa profesi saya, kalau di sekolah saya adalah guru, saya juga bisa disebut petani karena banyak bekerja di kebun, saya juga bisa disebut tukang sampah, karena sering memungut sampah-sampah di jalan, tapi kalau ada wisatawan datang dan minta dipandu, saya bisa juga jadi guide," ujar Natsir menjawab pertanyaan kami tentang apa latar belakang pekerjaannya.
Baca juga:
Cafe Ong's, Tempat Berlibur Keluarga Sambil Ngopi dan Sepedaan Juga Bisa
4 Kanal Youtube Buat Kamu Coffee Lovers untuk Menambah Wawasan
Tak berapa lama, seorang pemuda datang membawakan kami sajian berupa pisang goreng dan satu teko kopi. Natsir mengatakan, pisang dan kopi yang disajikan adalah hasil dari kebunnya sendiri. Sambil menikmati kopi robusta Rembon, Natsir bercerita awal mulanya dirinya membangun perkebunan di sekitar kediamannya.
Ia mengatakan, dulunya lahan tempatnya tinggal bukan tempat yang cocok untuk berkebun. Natsir mengatakan dari seluruh lahan yang dimilikinya, mungkin hanya 20 sampai 30 persen saja yang bisa ditanami. Sebab, sebagian besar lahannya adalah bukit berbatuan.
"Dulu tidak ada kehidupan di ‘gunung batu’ ini," ucapnya mengambarkan kondisi tempat tinggalnya.
"Paling lahan yang bisa ditanam itu yang dibawah, yang dekat dengan sungai. Sisanya tidak bisa, karena batu. Mencari mata air saja susah disini. Kalau pun ada dan dipaksakan, saya harus menebang pohon-pohon pinus, tapi kan itu berbahaya karena bisa menyebabkan longsor," ujarnya.
Meski tinggal di lahan yang 'keras', Natsir tidak pantang menyerah. Ia pun mulai mengolah lahannya, dengan memindahkan batu-batu yang ada. Kemudian, selama bertahun-tahun dirinya tidak lelah mencari sampah-sampah dedaunan untuk ditimbun dengan tanah agar menjadi pupuk kompos. Usaha tak kenal lelahnya membuahkan hasil. Perlahan, tanda-tanda kehidupan mulai muncul di 'gunung batu' miliknya.
Untuk mencegah agar tidak terjadi longsor, karena dirinya telah memodifikasi lahan tersebut, Natsir kemudian menanam pohon-pohon kopi. Natsir mengatakan alasan dirinya menanam pohon kopi sebenarnya bukan karena tergiur nilai ekonomis. Namun, pertimbangannya karena pohon kopi termasuk dalam jenis tanaman keras yang bisa menjaga konservasi lingkungan.
"Pohon kopi ini punya dampak yang bagus bagi lingkungan, sebab ini salah satu tanaman konservasi, jadi bisa mempercepat proses pemulihan lahan. Karena disini dulunya bukan lahan yang subur untuk ditanami, maka pohon kopi ini bisa membantu agar lahan ini bisa subur, disamping akar pohonya juga bisa mencegah terjadinya longsor," jelasnya.
Baca juga:
Terumbu Karang di Teluk Kiluan dalam Kondisi Rusak
Uniknya Rasa Es Kopi Jepang dan Nasi Goreng Sakura di Himura
Kopi yang ditanam oleh Natsir adalah jenis Robusta. Ia mengaku, sejak ditanam hingga saat ini, pohon kopi tersebut sudah beberapa mengalami masa panen. Hasilnya pun terus berlimpah, menandakan kondisi tanah di lahannya semakin baik. Meski begitu, Natsir sama sekali tidak berniat menjual hasil panennya.
"Ya saya belum berpikir kesana (menjual hasil panen kopi), karena awalnya memang tidak berniat untuk khusus menanam pohon kopi," ucapnya.
Setelah melihat lahan yang digarapnya mulai subur, Natsir kemudian juga menanam coklat, nanas dan tanaman-tanaman produktif lain di perkebunan kopi miliknya. Natsir mengatakan, hasil panen dari tanaman-tanaman di kebunnya pun tidak pernah dirinya jual. Bahkan, menurutnya masyarakat boleh kapanpun mengambil buah coklat, nanas, cabai dan lainnya di kebun miliknya.
"Sejak awal saya memang tidak bermaksud mengambil keuntungan dari perkebunan ini. Niat saya hanya ingin memberikan contoh ke masyarakat lain, bahwa seperti apapun lahan yang dimiliki, jika dirawat dan dikelola dengan baik pasti bisa menghasilkan. Seperti disini, dulu isinya cuma batu semua, sekarang bisa tumbuh pohon kopi, coklat, nanas dan lain-lainnya," ujarnya.
Natsir mengatakan, biasanya hasil panen kopi dan coklat di kebun miliknya dikonsumsi untuk keluarganya sendiri. Selain itu, hasil panen kopi dan coklat juga disiapkan untuk menyambut tamu-tamu yang datang ke Natsir Eco School atau menginap di pondok-pondokan miliknya. Natsir mengatakan, mengembangkan perkebunan kopi untuk tujuan ekonomis bukan tidak pernah dipikirkannya.
Saat ini dirinya masih fokus untuk mengembangkan sekolah miliknya, karena ia menilai pendidikan bagi anak-anak di desanya adalah yang paling utama. Natsir mengaku semacam mempunyai 'dendam' dalam hal positif terkait masalah pendidikan. Ia pun bercerita alasan dirinya bertekad membantu pendidikan anak-anak di dusunnya tak lepas dari pengalaman masa lalunya.
"Latar belakang pendidikan saya sebenarnya bahasa inggris, Tidak mudah bagi saya untuk bisa mendapatkan akses pendidikan dulu," ucapnya.
Natsir bercerita, dulu dirinya sangat sulit untuk bisa bersekolah tinggi karena faktor ekonomi keluarga. Berbagai rintangan harus dilewatinya, mulai dari menempuh jarak 18 kilometer hanya untuk pergi ke sekolah, menjadi kuli bangunan untuk menambah biaya sekolah, 'berutang' pada warga negara Kanada untuk bisa berkuliah, hingga menjadi pemandu wisata.
Baca juga:
Meski Kafe Kecil dan Lokasi Nyempil, Tapi Vibesnya Bikin Menggigil
Benarkah Kopi Lanang Punya Manfaat 'Ajaib' untuk Kaum Pria?
Pada tahun 2008, Natsir akhirnya memutuskan kembali ke kampung halamannya. Selain mengubah lahan berbatuan menjadi perkebunan yang subur, Natsir juga menuntaskan 'dendam'nya dengan mendirikan sekolah informal bagi anak-anak di dusunnya, siapapun bisa belajar bahasa Inggris dan lainnya secara gratis.
"Masyarakat waktu itu bertanya-tanya kenapa saya lakukan itu, kenapa tidak bangun rumah dan perkebunan saja untuk keluarganya sendiri. Bahkan banyak yang bilang saya melakukan kebodohan dan hal sia-sia. Tapi itu semua tidak saya hiraukan," katanya.
"Saya ingin membagi ilmu itu semudah kita berbagi kopi. Biasanya kalau ada tamu yang berkunjung, kita tidak pernah berhitung untuk membuat, menyeduhkan dan berbagi kopi yang kita miliki di rumah. Begitu juga terkait ilmu pengetahuan, saya ingin kita tidak pernah berhitung-hitung, jika mengajarkan ini kita dapat apa dari sana. Bagi saya, sekecil apapun ilmu pengetahuan yang kita miliki, harus kita bagikan. Sebab ilmu akan semakin bermanfaat jika dibagikan bukan hanya disimpan sendiri, dan kita tidak pernah tahu dampak baik apa yang bisa terjadi dari ilmu yang kita bagikan di masa depan," ujarnya.
"Seperti kopi, ilmu pengetahuan pun harus dibagikan agar bisa dinikmati oleh sesama," ucapnya.