Menebus Dosa Masa Lalu pada Alam Lewat Kopi
Kopi Puntang menjadi salah satu kopi terkenal dari Jawa Barat, setelah berhasil menjadi biji kopi termahal pada lelang kopi internasional di Amerika Serikat beberapa tahun lalu. Bagi petani kopi di Jawa Barat, khususnya di kaki Gunung Puntang, hal tersebut menjadi angin segar untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Tetapi bagi Deni Sopyandi, keterkenalan kopi Puntang bukan hanya sebagai harapan mendapat kehidupan lebih baik, namun juga sebagai sarana untuk menebus 'dosa masa lalu' terhadap lingkungan.
"Dulu saya adalah perusak hutan dan lingkungan," ucap Deni Sopyandi, Ketua dari LMDH Bukit Amanah.
Pria yang akrab disapa Abah Onil itu bercerita, semasa muda, dirinya berserta banyak anggota LMDH Bukit Amanah merupakan pemburu satwa liar yang ada di hutan-hutan kaki gunung Jawa Barat. Tak terhitung sudah beberapa kali, Abah Onil dan rekan-rekannya berburu dan merusak hutan, bahkan satwa-satwa berstatus dilindungi pun tak luput diburunya.
"Saya berburu hewan dari yang kecil hingga besar, seperti surili, lutung, trenggiling, musang dan lain-lainnya. Ya mereka macam-macam dulunya, ada yang berburu juga seperti saya, banyak juga yang pembalak liar, illegal logging, sampai-sampai hutan rusak. Bahkan dulu orang-orang di bawah (hilir) suka menyalahkan kami kalau musim hujan kemudian terjadi banjir, karena memang hutan rusak," cerintanya.
Baca Juga: Perang Dunia, Kopi Instan dan GI Joe
Abah Onil melanjutkan, alasan warga di pinggir hutan terpaksa berburu dan melakukan penebangan liar karena alasan ekonomi. Ia mencontohkan, banyak warga yang memilih berburu hanya karena agar bisa memakan daging.
"Mereka berburu alasannya karena Cuma agar bisa makan daging, mereka juga tidak tahu apakah hewan yang diburunya itu dilindungi atau tidak. Sebab, mereka sulit untuk membeli daging dengan kondisi ekonomi yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Bahkan terkadang, warga disini hanya makan daging kalau ada kurban saja (Hari Raya Idul Adha)," katanya.
"Kemudian berburu burung, untuk dijual, agar bisa mendapatkan uang untuk jajan anak-anak sekolah, begitu juga dengan menebang pohon-pohon, agar bisa memenuhi kebutuhan hidup," lanjutnya.
Sadar akan dampak buruk bagi lingkungan dan lelah menjalani hal tersebut, Abah Onil bertekad untuk mengubah nasib. Kala itu, dirinya mulai mempelajari menanam kopi yang menurunya bukan hanya membawa keuntungan ekonomis, namun juga baik bagi lingkungan.
Baca Juga: Sensasi Seduhan Teh Kopi Cascara
Di sekitar tahun 2000an, Abah Onil kemudian mulai mengajak kelompoknya untuk menanam kopi, karena menilai, kopi bisa mengangkat kesejahteraan masyarakat. Namun, ia mengaku hal itu bukan perkara mudah. Sebab, dalam pemikiran masyarakat sekitar, menanam kopi itu tidak bisa menghasilkan keuntungan dengan cepat.
"Jadi masyarakat disini masih berpikir, kalau mau menjadi petani kopi maka harus kaya dulu, punya beras yang banyak dulu, baru tanam kopi. Karena kopi kan panennya baru tiga tahun setelah ditanam, itu pun awal panen belum maksimal," ceritanya.
Setelah 'jatuh bangun' perjuangan Onil dan kelompoknya untuk mengajak masyarakat beralih mulai mendatangkan dampak positif. Lahan-lahan kritis di kaki Gunung Puntang mulai berkurang. Masyarakat pun mulai banyak yang tertarik untuk ikut bersama-sama menjaga kelestarian alam, terlebih setelah adanya beberapa pihak luar yang datang untuk menawarkan bantuan.
Kini, Onil mengatakan taraf kehidupan masyarakat, khususnya anggota kelompok taninya sudah semakin membaik. Mereka sudah tidak hanya menjual ceri kopi saja, namun mulai melakukan pengolahan pascapanen secara mandiri, yang bisa meningkatkan harga jual hasil perkebunan mereka. Bahkan, kopi pun sudah mulai diproses hingga siap seduh. Kemajuan ini, semakin menarik minat masyarakat sekitar untuk bergabung dan menjadi petani kopi sambil merawat lingkungan mereka.
"Sebab kan yang sulit itu memang mengubah mindset mereka, menyentuh hati mereka untuk berubah. Jadi kami harus tunjukan dulu hasilnya bagaimana, dan syukur sekarang kelompok kami sudah berkembang. Saat ini Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Bukit Amanah sudah membawahi tiga Kelompok Tani Hutan (KTH), dengan luas area garapan 102 hektar memanfaatkan lahan dibawah tegakan, dengan kopi. Untuk anggota sendiri sudah ada 137 kepala keluarga yang bergabung di LMDH ini," jelasnya.
Baca juga: Americano, Menu Kopi yang Lahir dari Perang Dunia ke-2
Onil mengatakan, saat ini LMDH Bukit Amanah bisa menghasilkan sebanyak 50 sampai 70 ton ceri kopi setiap masa panen. Ia mengaku, meski mungkin taraf kesejahteraan masyarakat yang menjadi anggotanya belum meningkat secara drastis, namun kini masyarakat sudah bisa mengantungkan harapan dari perkebunan kopi, serta memanfaatkan alam secara lebih bijaksana.
"Sekarang sudah ada harapan baru. Kalau diingat masa lalu saya pribadi suka terharu. Saya yakin, dengan adanya bantuan pembinaan hingga pendampingan, masyarakat disini bisa mandiri. Jika masyarakat di kaki gunung sudah mandiri maka hutan bisa lestari,” katanya.
Onil menambahkan, dirinya bersama anggota LMDH Bukit Amanah sudah bertekad akan berjuang mempertahankan dan menjaga kelestarian lingkungan. Menurutnya, kelompoknya sudah membuktikan bahwa jika hutan dipelihara dan lestari maka masyarakat justru bisa mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih baik.
"Kopi kini merupakan harapan baru yang bisa mengubah masyarakat disini, terutama kehidupan ekonomi. Kami semua bertanggung jawab terhadap dosa kami terhadap lingkungan di masa lalu. Lewat kopi juga, kami ingin menebus dosa masa lalu kami terhadap alam," ucapnya
Baca juga: Mikael Jasin: Kopi adalah Agen Perubahan untuk Kualitas Hidup Lebih Baik