Sejarah

Raba Biang, Wabah Mirip Covid yang Menghantui Orang Toraja

Setelah sempat melandai, kasus penularan Covid-19 kembali meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Setelah varian Alpha, Beta, Delta kini penularan Omicron mengancam masyarakat Indonesia. Berbicara mengenai wabah penyakit, masyarakat di Toraja hingga kini masih mengingat peristiwa penularan wabah mematikan pada tahun 1918.

"Dulu ada wabah mematikan, kami disini menyebutnya Ra'ba Biang," ujar Natsir, pemilik Eco School di Rante, Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, membuka obrolan pada malam itu.

Tulang belulang yang dipercaya merupakan korban wabah Raba Biang di situs pemakaman Tampang Allo, Sanggalla, Tana Toraja.
Tulang belulang yang dipercaya merupakan korban wabah Raba Biang di situs pemakaman Tampang Allo, Sanggalla, Tana Toraja.

Ditemani kopi tubruk Robusta hasil kebunnya sendiri, Natsir mengatakan Ra'ba Biang masih terjaga dalam ingatan orang-orang di Tana Toraja, meski kejadiannya sudah ratusan tahun lalu. Budaya bertutur alias bercerita yang akrab di tengah masyarakat Tana Toraja, membuat cerita-cerita tentang wabah yang dikenal dunia dengan flu Spanyol, tidak dilupakan begitu saja.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Makanya, ketika Covid-19 meningkat drastis, kami langsung teringat dan menduga apakah Ra'ba Biang terjadi lagi," katanya sambil menghisap rokoknya.

Natsir yang juga merupakan seorang pengajar mengatakan, Ra'ba Biang dalam bahasa Indonesia artinya rumput yang rebah ditebas. Penamaan itu bukan tanpa makna, berdasarkan cerita yang didapat dari orang-orang tua, hal itu menggambarkan bagaimana ganas dan mautnya wabah tersebut. "Karena korbannya sangat banyak, jadi diibaratkan sebagai rumput yang ditebas. Kalau kita menebas rumput kan bukan cuma satu saja yang rebah, tapi banyak. Jadi seperti itulah wabah merengut nyawa orang-orang pada masa itu," jelasnya.

"Bagaimana tidak, misalkan hari ini si A meninggal karena terkena wabah, kemudian si B, C dan D menguburkan. Besok harinya, si B, C dan D bisa tertular dan meninggal juga. Jadi siapa orang yang terkena kemungkinan besar akan meninggal. Kalau sekarang yang kena (Covid-19) mungkin bisa diselamatkan setelah diisolasi dan sebagainya. Tapi jaman dulu pengobatan belum maju, sehingga hampir setiap hari yang meninggal itu hampir lebih dari satu sampai dua orang. Setiap hari pasti ada yang dimakamkan," cerita Natsir.

Natsir saat bercerita tentang wabah Ra'ba Biang.
Natsir saat bercerita tentang wabah Ra'ba Biang.

Baca juga:

Ganjar Pranowo Minta Maaf, Ganjar pun Temui Warga Wadas yang Pro Penambangan

Melirik Pasar Kopi Indonesia di Afrika Selatan

Apa Beda Tea dan Cha? Ini Sejarah Munculnya Nama Teh

Minum Kopi Setelah Vaksin Booster Covid Boleh Gak Sih?

Natsir melanjutkan, dalam budaya Suku Toraja ada upacara bernama Rambu Solo', yang selalu digelar jika ada orang yang meninggal. Tetapi karena banyaknya korban, maka orang-orang saat itu dimakamkan tanpa melaksanakan upacara tersebut. "Jangankan upacara, bahkan untuk membuat kuburan batu pun sudah tidak mungkin, akhirnya banyak jenazah-jenazah yang diletakan di dalam gua atau celah-celah batu begitu saja," katanya.

Natsir yang pernah menjadi seorang pemandu wisata, mengatakan salah satu tempat pemakaman korban-korban Ra'ba Biang adalah di Tampang Allo, Sanggalla. Di sana, kita bisa menemukan sebuah gua yang banyak berisi tulang berulang manusia. Memang sangat berbeda dengan pemakaman khas Toraja lainnya. Tidak ada kuburan batu dan patung yang diukir untuk mengenang siapa orang yang dikubur disana. Yang ada hanya deretan tengkorak manusia dan tulang belulang saja.

Situs pemakaman Tampang Allo di Sanggalla, saksi bisu ganasnya wabah Ra'ba Biang.
Situs pemakaman Tampang Allo di Sanggalla, saksi bisu ganasnya wabah Ra'ba Biang.

Belum majunya ilmu pengetahuan, khususnya dalam dunia medis, membuat orang-orang Toraja pada masa itu menduga bahwa wabah ini adalah kutukan dari sang pencipta, karena mereka tidak taat menjalankan ajaran Aluk Todolo. Upaya pengobatan pun dilakukan berdasarkan kepercayaan animisme, seperti memukul-mukul kandang babi hingga upacara-upacara khusus.

"Memang ada yang mendapat pengobatan dari orang-orang Belanda, tapi terbatas. Wabah ini kemudian berakhir sekitar tahun 1920, orang-orang pada masa itu merasa ini merupakan seleksi alam, karena yang hidup yang bisa bertahan," katanya.

"Sekarang terjadi lagi wabah serupa, semoga semua bisa segera berakhir," ucapnya mengakhiri cerita seiring berkumandangnya adzan Subuh dari Mushola tak jauh dari tempat kami mengobrol.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Bacaan ringan untuk menemani minum kopi atau teh