Kopi Jawa Barat, Terkenal Jauh Sebelum Indonesia Merdeka

Sejarah  
Petani memetik ceri kopi di perkebunan yang ada di wilayah Gunung Puntang, Jawa Barat. (foto: Abdan Syakura)
Petani memetik ceri kopi di perkebunan yang ada di wilayah Gunung Puntang, Jawa Barat. (foto: Abdan Syakura)

Data Badan Pusat Statistik Jawa Barat menyebutkan hingga tahun 2018, luas perkebunan kopi di Provinsi Jawa Barat tercatat ada sebesar lebih dari 33 ribu hektar, yang terdiri dari 33.639.00 hektar adalah perkebunan rakyat dan 259 hektar adalah perkebunan swasta, dengan total produksi gabungan hampir mencapai 18.000 ton. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan dengan Sumatera Selatan, yang masih menjadi provinsi penghasil kopi terbesar di Indonesia.

Padahal, di wilayah Jawa Barat, pohon kopi ditanam untuk pertama kalinya di Indonesia. Bukan cuma itu saja, di masa lampau, kopi-kopi jenis Arabica dari Jawa Barat pernah menjadi raja dalam perdagangan kopi di dunia. Kopi Jawa Barat yang kemudian dikenal di dunia dengan nama Java, mengalahkan kopi asal Mokha, Yaman, baik dari segi rasa maupun kuantitas dalam perdagangannya, dimana saat itu ¾ persen peredaran kopi di dunia berasal dari Priangan.

Sejarah panjang kopi di Jawa Barat, bermula ketika masyarakat di Benua Eropa mulai menjadikan kopi sebagai minuman favorit mereka. Belanda sebagai salah satu negara dagang di Eropa, menjadi salah satu pelopor yang memperjualbelikan kopi di Benua Biru. Awalnya, Belanda hanya bisa mendapatkan kopi dari Mocha di Yaman, dimana menjadi satu-satunya wilayah yang telah membudidayakan kopi secara komersial.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kemudian, pada tahun 1659, secara Belanda yang berhasil mengusir Portugal dari Ceylon menemukan perkebunan kopi di Malabar. Ahli botani Belanda kemudian meneliti kopi yang ditemukan disana. Hasilnya diketahui jika kopi tersebut sama jenis dan varietasnya dengan yang mereka beli dari Mokha. Disamping menjual kopi dari Mokha, pedangang Belanda pun mulai menjual kopi dari Malabar dengan nama Coffea Arabica.

Tingginya permintaan kopi di pasar dunia, membuat Belanda memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki. Peneliti Belanda kemudian mulai melakukan pembibitan, dengan maksud membuka perkebunan-perkebunan kopi baru di tanah jajahan mereka. Salah satu incarannya adalah di Jawa, yang dianggap mempunyai karakteristik alam mirip dengan Ceylon atau yang kini dikenal dengan nama Srilangka.

Pada tahun 1669 dimulailah tonggak sejarah kopi di Indonesia. Pada tahun itu, Pejabat Tinggi Kerajaan Belanda dan Walikota Amsterdam Nicholas Witsen memerintahkan agar benih kopi dari Malabar dibawa ke Jawa.

Pemerintah Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn membawa bibit pohon kopi asal Malabar untuk ditanam di Jawa. Wilayah perkebunan kopi pertama dibuka di daerah Kedawoeng, yang tidak jauh dari Batavia, yang saat itu merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda. Namun, eksperimen pertama itu berakhir dengan kegagalan. Lantaran perkebunan kopi di daerah Kedawoeng rusak dihantam banjir besar dari aliran Sungai Cisadane. Meski gagal, namun orang-orang Belanda mendapat informasi yang berharga bahwa kopi bisa tumbuh subur di Nusantara.

Selanjutnya pada tahun 1699, Hendrick Zwaardecroon, seorang pejabat yang kemudian menjadi Gubernur Hindia Belanda, memindahkan dan membuka perkebunan baru kopi di lokasi yang jauh dari aliran sungai besar. Daerah yang di pilih adalah sekitar wilayah Bidara Cina, Kampung Melayu, Palmerah, Sudimara hingga Sukabumi. Perkebunan-perkebunan baru berhasil mencapai masa panen. Sample hasil panen dari perkebunan-perkebunan itu kemudian dibawa ke Amsterdam pada tahun 1706. Ahli botanical Belanda menyimpulkan bahwa kopi dari Jawa punya kualitas sangat baik dan sejajar dengan kopi dari Mokha, Yaman.

Mengetahui hal itu, Walikota Amsterdam memberikan perintah kepada Gubernur Hindia Belanda Willems van Ousthoorn untuk mengencarkan penanaman kopi di Jawa pada tahun 1706. Van Ousthoorn selanjutnya mulai membuka dan memperluas perkebunan kopi di perdalaman Priangan. Ia lalu mengumpulkan para bupati di wilayah Priangan, dan membuat perjanjian dagang yang dikenal dengan nama Koffie Stelsel pada tahun 1707.

Isi perjanjian diantaranya disebutkan bahwa para bupati akan mendapatkan bibit pohon kopi, serta harga panen kopi dari wilayah-wilayah yang dipimpin oleh para bupati akan dihargai sebesar 5 sampai 6 ringgit gulden per pikul. Perjanjian tersebut menandai awal penanaman pohon kopi secara besar-besaran di wilayah Priangan Barat dan Timur.

Kepala daerah pertama yang mencatatkan nama dalam sejarah kopi Belanda adalah Bupati Cianjur Aria Wiratanudatar III. Pada tahun 1711, Aria Wiratanudatar mengirimkan sebanyak 400 Kg hasil panen dari wilayahnya ke Amsterdam. Kopi tersebut kembali diteliti, dan mendapat harga tertinggi dalam lelang kopi yang digelar di Amsterdam. Sejak saat itu, dunia mengenal dua kopi terbaik yakni dari Mokha dan Jawa.

Pada tahun-tahun selanjutnya, kopi asal Jawa semakin tersoroh dan mampu mengalahkan popularitas kopi asal Mokha. Selain itu, gencarnya penanaman kopi di Jawa membuat dunia dibanjiri kopi asal priangan. Bahkan ¾ kebutuhan kopi dunia dipasok dari Priangan. Keterkenalan kopi asal Priangan di dunia diabadikan lewat kata-kata ‘A Cup of Java’. Java bagi masyarakat dunia, saat itu adalah kata ganti dari kopi. Seperti kita ketahui, bahkan hingga saat ini Java tetap diasosiasikan dengan kopi.

Larisnya kopi asal Priangan di dunia, membuat pemerintah Belanda untung besar. Dari kopi, Belanda bisa melunasi utang perang untuk menaklukan wilayah Indonesia. Hal ini mendorong lahirnya Preangerstelsel pada tahun 1720, yang merupakan bentuk tanam paksa kopi.

Kopi asal Jawa bukan hanya menjadi raja perdagangan internasional saat itu. Tetapi, benih kopi Arabica varietas Jawa juga menyebar ke seluruh dunia, dan boleh disebut sebagai cikal bakal banyak kopi di negara-negara lain saat ini. Kesuksesan penanaman kopi di Priangan, membuat Amsterdam menjadi pusat baru perdagangan kopi dunia menggeser Mokha, Yaman.

Selain membuka perkebunan kopi baru di wilayah Sumatra, Belanda juga membuka perkebunan kopi di Suriname dengan menggunakan bibit dari Priangan.

'Kiamat' bagi perkebunan kopi di Indonesia akhirnya datang sekitar tahun 1876. Wabah penyakit karat daun yang disebabkan oleh jamur Hemileia vastatrix , membuat perkebunan kopi di Indonesia mengalami kemunduran. Ekspor kopi asal Indonesia menurun drastis. Hal ini kemudian dimanfaatkan Brasil, yang menjadi saingai berat Hindia Belanda untuk meningkatkan ekspor kopi mereka dalam perdagangan internasional.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Bacaan ringan untuk menemani minum kopi atau teh

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image