Cerita 'Penjaga Eksistensi' Warung-Warung Kopi di Aceh
Minum kopi menjadi budaya masyarakat Aceh. Tak peduli waktu, pagi, siang bahkan malam hari pun, warung-warung kopi yang ada di wilayah Aceh selalu ramai dikunjungi masyarakat. Tak salah rasanya, Aceh selain dikenal dengan julukan "Serambi Mekkah" juga dikenal dengan "Seribu Warung Kopi".
Salah satu unsur penting dalam menunjang bertahannya warung-warung kopi tradisional di Aceh, adalah roaster (penyangrai) biji kopi tradisional. Tanpa peran mereka, pastinyan tidak ada lagi pasokan biji kopi yang cocok untuk diseduh menjadi kopi khas di warung-warung tersebut. Salah satu orang yang menyangrai kopi secara tradisional adalah Kusniati.
Dengan menggunakan drum kaleng yang diletakan langsung di atas tungku api, Kusniati biasa menyangrai biji kopi hingga 150 kilo gram setiap harinya. Selama kurang lebih delapan hingga sembilan jam sehari, ibu rumah tangga itu bergelut dengan panas dan asap dari proses penyangraian kopi. Kusniati mengaku awalnya tidak pernah terbesit keinginan untuk menjadi pemanggang biji kopi.
"Saya pertama belajar (meroasting kopi) dari suami. Tapi karena suami juga berdagang, jadi kadang sibuk sekali. Awalnya saya hanya berniat membantu dia, tapi kemudian berlanjut terus, sampai sudah hampir 10 tahun saya mengolah kopi," katanya.
Kusniati menjelaskan, untuk mendapatkan hasil roasting yang baik ada beberapa hal yang menjadi kunci, pertama tentu biji yang digunakan harus bagus. Kemudian, kedua adalah kayu bakar yang digunakan tidak boleh sembarangan.
"Kayunya dari hutan, karena ini akan berpengaruh pada rasa dan aroma kopinya," ucapnya.
Kusniati melanjutkan, hasil roasting secara tradisional, sangat cocok untuk digunakan untuk metode seduh kopi saring, yang memang khas dari Aceh. Kusniati mengaku, upah yang didapatnya sebesar 150 ribu setiap satu kali meroasting, cukup membantu perekonomian keluarga. Dirinya juga senang menjalani pekerjaan ini, karena selain mendapat penghasilan tambahan, apa yang dilakukannya juga merupakan bagian dari merawat tradisi nenek moyang.
"Meski sekarang banyak kedai kopi dan cara modern, yang tradisional seperti ini jangan dihilangkan, karena ini sudah dari nenek moyang, kalau bisa terus ada," ujarnya.